Introduction

Sunday, April 17, 2022

It Takes Two to Tango: Bijak

 

Satu dekade yang lalu mungkin tidak ada anak-anak bercita-cita menjadi “youtuber” atau “selegram”. Bahkan profesi tersebut tidak pernah terlintas dalam benak orang. Saat itu sebagian besar anak bermimpi menjadi dokter atau insinyur. Jika anak tersebut cukup heroik maka mereka bercita-cita menjadi polisi atau tentara. Dunia bergulir, ternyata untuk memiliki banyak uang tidak perlu terlalu “pusing” belajar tiap malam karena ada cara untuk lebih cepat menggelembungkan pundi-pundi.
Diawali oleh para pesohor yang sudah memiliki “basis masa”  mengunggah konten “hiburan” yang beragam dan ternyata digemari oleh masyarakat. Konten tayangan mulai dari yang “lumayan mendidik”, “memberi pengetahuan”, sekadar hiburan sampai dengan yang saya kelompokan “tidak penting”, seperti menjual mimpi dan kemewahan “flexing” atau “family content” yang ternyata sama sekali tidak “ramah anak”. Tapi sayangnya, masyarakat menggemarinya bahkan gandrung. Mungkin saja karena orang butuh hiburan di masa pandemi yang penuh pembatasan. Maka hiburan melalui dunia maya menjadi pilihan. Hal ini juga terbukti dengan jumlah viewer dan subscriber melimpah dan itu sama dengan menggelembungnya pundi-pundi para youtuber, bahkan sampai disebut sultan.
Lepas dari persolan itu, para youtuber ini tentu tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Bukankah yang berlaku teori “supply and demand?”, selama kebutuhan pasar ada bahkan berlimpah, atas nama kebutuhan dan tuntutan konsumen, produsen tentu terus berproduksi…Kedua pihak saling membutuhkan meskipun bentuk “kebutuhan”nya berbeda. Satu pihak, mungkin, membutuhkan popularitas karena akan berakhir dengan penuhnya pundi-pundi. Di lain pihak memuaskan dahaganya atas hiburan dan mimpi indah karena jika tidak bermimpi mustahil bisa menikmatinya.
Sayangnya, mimpi indah dan hiburan ini benar-benar hanya “mimpi dan hiburan”. Kalau boleh jujur, konsumen tidak dapat apa-apa yang relatif positif, selain mimpi dan hiburan ala kadarnya, bahkan pada akhirnya tidak bisa lepas dari jeratan mimpi tak berkesudahan.  Untuk para penjual mimpi, lumayanlah… “cuan”, begitu istilah kekiniannya. Sebenarnya, sama-sama butuh tapi tak berimbang… Sedih memang…
Penjual mimpi tidak bisa menjadi “sultan” tanpa para pencinta mimpi, tentu mereka tidak terlalu memikirkan apakah tayangan yang diunggahnya memiliki kemaslahatan atau tidak. Apa boleh buat, kita tidak lagi mampu berlari atau menghindar dari kepungan informasi yang datang bertubi-tubi tanpa diminta.
Maka hanya ada satu kata, yaitu “bijak” memilih dan memilah informasi, yang bukan hanya diinginkan saja tetapi lebih kepada informasi yang bermanfaat dan membawa pencerahan. Kata bijak sekan-akan menjadi kata suci yang mudah didefinisikan tapi sulit diterapkan.
Jika diperkenankan titip pesan kepada para pengunggah konten di media sosial, apalagi yang sudah berlabel “influencer”. Mereka tentu memiliki kemampuan “mempengaruhi” penontonnya, penggemarnya dan khalayak luas agar mampu berlaku bijak pula dalam mengunggah konten tayangan. Jangan lupa para “influencer” ini sudah mendapat keuntungan besar dari khalayak, maka pantaslah jika mau sedkit berbagi… bukan uang, tapi kemaslahatan. Tanpa penonton tentu tidak akan bisa terus berjaya dan tayangannya menjadi tidak bermakna apa-apa. It takes two to tango, tidak nikmat menari tango sendiri… pasti perlu teman agar cuan terus.
Semoga semua mampu bersikap bijak.... mari menari...💃💃💃