Satu dekade yang lalu mungkin tidak ada anak-anak
bercita-cita menjadi “youtuber” atau “selegram”. Bahkan profesi tersebut tidak
pernah terlintas dalam benak orang. Saat itu sebagian besar anak bermimpi
menjadi dokter atau insinyur. Jika anak tersebut cukup heroik maka mereka
bercita-cita menjadi polisi atau tentara. Dunia bergulir, ternyata untuk
memiliki banyak uang tidak perlu terlalu “pusing” belajar tiap malam karena ada
cara untuk lebih cepat menggelembungkan pundi-pundi.
Diawali oleh para pesohor yang sudah memiliki “basis masa” mengunggah konten “hiburan” yang beragam dan ternyata digemari oleh
masyarakat. Konten tayangan mulai dari yang “lumayan mendidik”, “memberi
pengetahuan”, sekadar hiburan sampai dengan yang saya kelompokan “tidak
penting”, seperti menjual mimpi dan kemewahan “flexing” atau “family content”
yang ternyata sama sekali tidak “ramah anak”. Tapi sayangnya, masyarakat
menggemarinya bahkan gandrung. Mungkin saja karena orang butuh hiburan di masa pandemi yang penuh pembatasan. Maka hiburan melalui dunia maya menjadi pilihan. Hal ini juga terbukti dengan jumlah viewer dan subscriber melimpah dan itu sama dengan menggelembungnya
pundi-pundi para youtuber, bahkan
sampai disebut sultan.
Lepas dari persolan itu, para youtuber ini tentu tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Bukankah yang
berlaku teori “supply and demand?”,
selama kebutuhan pasar ada bahkan berlimpah, atas nama kebutuhan dan tuntutan konsumen,
produsen tentu terus berproduksi…. Kedua pihak saling membutuhkan meskipun
bentuk “kebutuhan”nya berbeda. Satu pihak, mungkin, membutuhkan popularitas karena akan berakhir dengan penuhnya pundi-pundi. Di lain pihak memuaskan dahaganya atas hiburan dan mimpi indah
karena jika tidak bermimpi mustahil bisa menikmatinya.
Sayangnya, mimpi indah dan hiburan ini benar-benar
hanya “mimpi dan hiburan”. Kalau boleh jujur, konsumen tidak dapat apa-apa yang
relatif positif, selain mimpi dan hiburan ala kadarnya, bahkan pada akhirnya tidak bisa lepas
dari jeratan mimpi tak berkesudahan.
Untuk para penjual mimpi, lumayanlah… “cuan”, begitu istilah
kekiniannya. Sebenarnya, sama-sama butuh tapi tak berimbang… Sedih memang…
Penjual mimpi tidak bisa menjadi “sultan” tanpa para
pencinta mimpi, tentu mereka tidak terlalu memikirkan apakah tayangan yang
diunggahnya memiliki kemaslahatan atau tidak. Apa boleh buat, kita tidak lagi
mampu berlari atau menghindar dari kepungan informasi yang datang bertubi-tubi
tanpa diminta.
Maka hanya ada satu kata, yaitu “bijak” memilih dan
memilah informasi, yang bukan hanya diinginkan saja tetapi lebih kepada
informasi yang bermanfaat dan membawa pencerahan. Kata bijak sekan-akan menjadi
kata suci yang mudah didefinisikan tapi sulit diterapkan.
Jika diperkenankan titip pesan kepada para
pengunggah konten di media sosial, apalagi yang sudah berlabel “influencer”. Mereka tentu memiliki
kemampuan “mempengaruhi” penontonnya, penggemarnya dan khalayak luas agar mampu
berlaku bijak pula dalam mengunggah konten tayangan. Jangan lupa para “influencer” ini sudah mendapat
keuntungan besar dari khalayak, maka pantaslah jika mau sedkit berbagi… bukan
uang, tapi kemaslahatan. Tanpa penonton tentu tidak akan bisa terus berjaya dan
tayangannya menjadi tidak bermakna apa-apa. It
takes two to tango, tidak nikmat menari tango sendiri… pasti perlu teman agar
cuan terus.
Semoga semua mampu bersikap bijak.... mari menari...💃💃💃