Introduction

Wednesday, March 31, 2021

Label dan Kotak

 

Cerita ini berawal dari perbincangan di WA Grup alumni kami. Seperti layaknya grup alumni isi perbincangan kerap “tak tentu arah”. Maklum saja selepas berpisah secara formal lebih dari tiga puluh lima tahun, tentu banyak yang membuat anggota grup berubah. Ada yang “label”nya sama seperti dahulu kala:  bersemangat, “galak”, ada yang berubah menjadi sangat tenang atau semakin bijak dan tentu ada pula penyimak terbaik. Tapi itu bukan bagian yang penting untuk dikisahkan.

Suatu kali seorang sahabat mengunggah gambar yang menyandingkan dua kelompok orang yang sedang bersepeda. Kelompok pertama diberi label “Orang Kaya” mengenakan topi pengaman “helm”, masker dan perangkat lainnya. Sedangkan kelompok kedua dengan label “Orang Biasa” hanya mengenakan topi caping bukan helm, tanpa masker dan perangkat lain. Caption yang mengiringi unggahan tersebut adalah “Orang Kaya. Lulusan S1, S2, S3” dan “Orang Biasa. Ada yang tidak lulus SD”. Gambar ini diberi tajuk besar "Antara pintar dan akhlak"

Bagi “orang biasa” mungkin, mengayuh sepeda bukan bentuk olah raga kekinian tetapi tak lebih dan tak kurang sebagai alat transportasi menuju tempat tujuan. Tetapi bagi “orang kaya” bersepeda adalah sebuah keriaan bersama teman atau pelepas penat setelah terus menerus berpikir untuk melahirkan gagasan atas nama kehidupan di kota besar.

Dua kelompok pengayuh sepeda menampakkan gaya yang berbeda, “orang kaya” bergerombol sehingga memblokade jalan umum, sedangkan “orang biasa” berbaris panjang ke belakang.

Bagi sebagian orang memblokade jalan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan merupakan kesombongan atau kepongahan. Tetapi bagi yang melakukan, bisa jadi dipandang sebagai “kepatutan” saja atau ada alasan lain yang pasti tidak akan bisa dipahami oleh pihak yang berseberangan. Begitu pula dengan pilihan pengayuh sepeda yang berbaris ke belakang, tidak dapat dengan serta merta disimpulkan berakhlak.

Tanpa disadari manusia memang kerap membuat label yang dilekatkan kepada kelompok masyarakat, sadar atau tidak sadar. “Orang kota sombong”, “orang kota pintar”, “orang berpendidikan tidak beradab”, “orang desa bodoh”, “orang desa berakhlak”, ”orang bodoh jujur”. Label tersebut sebenarnya juga sangat dapat diperdebatkan dan kadang terasa tidak adil.

Oleh karena itu rasanya tidak elok pula jika kita membuat pengkotakan compartmentalization” yang seolah-olah di dunia ini hanya ada hitam putih. Fakta hidup justru menyatakan wilayah abu-abu lebih banyak dihuni. Ini sangat mungkin terjadi akibat kegamangan hidup sehingga  orang tidak tahu harus berposisi dimana, tidak mau berpihak atau mengambil keuntungan. Pada masa “manusia modern” menjadi pemuja sains dan tekhnologi kemungkinan orang berada di wilayah abu-abu menjadi sangat tinggi dan bahkan Ia pun tidak sadar berada di wilayah tersebut.

Pengkotakan memang sulit dihindari mengingat cara pandang manusia dibangun atas dasar sifat-sifat dominan dalam hidupnya, pengalaman hidup dan tata nilai yang melekat. Namun demikian pengkotakan yang tajam disertai “pelabelan” akan menyempitkan pandangan ruang kehidupan seseorang dan menyulitkan manusia untuk menembus batas-batas sosial budaya. Bukankah pikiran manusia bisa mengubah sekitarnya…?

Karena manusia bukan komoditi yang akan dijual-belikan maka  tak perlu diberi kotak dan label. Jadi, mari mencoba menggunakan mata hati dan "meminjam" mata Wali untuk memahami cara orang lain. Melihara baik sangka dan  membuat asumsi bahwa semua manusia baik budi sesuai dengan fitrahnya akan memudahkan sayap mengepak mencapai langit.   Wallahu a'lam bish-shawabi.

 

                     Special Thanks to Syam, Bro Isma and Ika