Introduction

Tuesday, June 22, 2021

Cinta

 

Mendengar kata cinta, mungkin sebagian besar orang berasosiasi kepada persoalan “pasangan”. Padahal cinta itu maha luas, maha dahsyat dan maha sulit untuk disempitkan maknanya dengan sebuah definisi. 

 

Sejatinya semua kalimat yang memuat kata dasar cinta didalamnya menyiratkan keindahan, kenyamanan, kebahagian, kerinduan dan bersamaan dengan itu mungkin ada pula “kepedihan”. Ini bukan berarti saya budak cinta “bucin”, begitu istilah kekiniannya. Tapi jelas manusia tidak bisa hidup tanpa cinta karena cinta itu luas, seluas samudra, menaungi beragam sendi kehidupan makhluk bumi.

 

Jika saja pemilik jagat raya tidak memberi “indra” perasa cinta, tak pernah terbayang bagaimana manusia hidup di dunia ini. Bisa saja  tingkat perundungan menjadi sangat tinggi, ujaran kebencian merajalela, bahkan mungkin saja terjadi perang dunia, entah keberapa, atas nama pembelaan keyakinan diri tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. 

 

Tampaknya benar yang paling sulit “dijinakkan” untuk memandang atau mengakui bahwa “kita sama” dan memelihara baik sangka serta berpraduga bahwa semua orang baik adalah kepongahan diri. 

 

Tanpa disadari, makhluk bumi kerap kali menyekat pandangannya dengan strata duniawi dan lupa membuka mata nuraninya. Bahkan sampai melupakan bahwa Sang Khalik telah memberi anugerah cinta.

 

Bukan hal yang aneh jika manusia kesulitan menyikapi beragam perbedaan karena “pembenaran” versi individu atau kelompok itu dibangun atas pandangan yang kerap emosional dan bersifat psikologis. Bisa jadi pandangan tersebut didoktrin bertahun lamanya hingga begitu melekat, sudah “memfosil.”  Maka tertutuplah sudah pintu tolerasi dan keberagaman serta hal lain di luar “dirinya” atau “kelompoknya”.

 

Tentu saja tidak mudah untuk “memahami” jika semua dipandang bertolak belakang dan beroposisi. Bahkan hanya sekadar menghargai pilihan orang yang berbeda dari dirinya menjadi tidak mungkin. Apalagi jika harus mencintai kelompok yang berbeda sebagai sesama makhluk bumi.

 

Untuk mampu menghargai meskipun berbeda, manusia jelas memerlukan pra-anggapan bahwa semua makluk bumi sejatinya setara.  Setelah itu barulah “cinta” dapat mengalir dalam hati manusia. 

 

Seorang sahabat mengatakan bahwa “Mencintai adalah melihat ke arah yang sama...”. Melihat ke arah yang sama saja belum tentu menghasilkan pandangan atau pikiran yang sama karena pengalaman batin dan hidup manusia tidak seragam. Tapi setidaknya ada upaya untuk ke satu arah agar bisa bergandeng tangan. Jika sebagian orang melihat ke muka dan sebagian lagi menoleh ke belakang, niscaya tidak mungkin mencapai tujuan yang sama.

 

Rupanya harus ada pelajaran “sufistik” yang disisipkan ke dalam kurikulum pendidikan agar bisa memperhalus rasa, menerima perbedaan tanpa marah dan memuliakan hidup serta mampu tidak hanya mengasah otak tetapi juga mengasah batin. Wallahu a'lam bish-shawabi

 

                           

                                                                                                                                                      Thanks to Bro Syam