Introduction

Thursday, May 20, 2021

Haruskah Belajar Sejarah?

 

Suatu kali saya mendengar ”perdebatan” dalam sebuah diskusi yang berkaitan dengan pengetahuan sejarah yang diharapkan dimiliki oleh kaum milenial. Perdebatan ini sebenarnya dipicu oleh beredarnya tayangan di jejaring sosial yang menggambarkan kegagalan respondennya mengenali foto para pahlawan dan tokoh penting dalam membangun sejarah bangsa di Republik ini. Yang lebih mengejutkan, para responden ternyata mengenali wajah dan nama para influencer penjual mimpi yang menurut pandangan saya mengajarkan gaya hidup hedonis “dunia materialistik”. (baca tautan terkait https://www.kompasiana.com/irnanir/6077c7a58ede487c365b8e62/ceveat-emptor-risiko-ditanggung-pembeli). 

 

Sejarah memang bukan cuma sekadar persoalan pahlawan dan tokoh bangsa karena cakupan sejarah sangat luas. Maka secara singkat sejarah didefinisikan sebagai peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu dan dapat diketahui melalui “peninggalan” pada masa peristiwa terjadi. Jadi semua hal yang sudah berlalu dan menjadi bagian dari hidup ini adalah sejarah bagi tiap individu. Mungkin yang membedakan hanya besar kecil gaung atau resonansinya yang berdampak kepada tatanan sosial dan budaya kelompok masyarakat dunia atau lokal, tapi bisa juga hanya diri sendiri. 

 

Oleh karena itu, saya sengaja memberi tanda kutip pada kata peninggalan karena tidak ingin terperangkap pada pernyataan bagaimana jika tidak ada peninggalan masa lalu.

 

Sejatinya semua kisah masa lalu baik yang beresonansi besar maupun yang bersifat personal akan menyisakan “peninggalan." Jika peninggalan itu luar biasa besar, maka akan terasa dalam komunitas besar, misalnya Candi Borobudur, Kemerdekaan Indonesia, kerugian peradaban atau munculnya peradaban baru. Sedangkan yang peninggalan beresonansi kecil, mungkin yang terdampak hanya keluarga atau diri sendiri.

 

Karena setiap manusia hidup pada zamannya masing-masing, maka kerap kali kita merasa kesulitan untuk meminta orang lain memiliki pengetahuan kesejarahan yang sama dengan kita. Apalagi jika para generasi Yold atau Baby Boomers menuntut kelompok milenial untuk memiliki pengetahuan masa lalu yang sama dengan mereka, pasti akan kesulitan. Bukan kaum milenial tidak menghargai sejarah bangsanya atau pahlawannya tetapi  cara mereka menghargai berbeda dengan cara orang tua. 

 

Seorang sahabat saya mengatakan “menurut milenial, mereka harus move-on”. Artinya, tidak perlu berkutat dengan masa lalu apalagi harus mengingat tahun perang Diponegoro, pembentukan BPUPKI atau yang lainnya. Yang menjadi pusat perhatian bagi milenal adalah "mulai masa kini untuk masa mendatang." Oleh karena itu mereka berupaya memajukan dirinya dan itu pasti untuk bangsanya pula.

 

Walaupun ini bukan hasil riset, saya ingin membuat simpulan sementara  bahwa sesungguhnya kaum milenial sadar bahwa mereka menjadi besar atas upaya para pahlawan dan mereka tidak sedang berupaya menghapus fakta sejarah.

 

Zaman memang sudah berubah, tak bisa lagi kita menuntut sesuatu yang sama seperti masa-masa muda para Senior, menghapal tahun-tahun peperangan, nama-nama pahlawan, nama-nama menteri. Hal-hal yang dulu harus dihapalkan akan mudah didapat dengan berselancar, sekali “klik” data yang dibutuhkan akan terpampang di hadapan mata.

 

Pelajaran sejarah tidak lagi begitu menarik hati bagi banyak kaum muda, mungkin salah satu penyebabnya ancangan yang digunakan tidak “kekinian”. Karena pengetahuan sejarah itu maha penting dalam rangka membentuk karakter bangsa  perlu dipikirkan “kemasan” yang menarik agar sesuatu yang sangat luar biasa (baca: sejarah) sampai ke sasaran dengan penerimaan yang sangat luar biasa pula. 

 

Jika demikian, mari kita titipkan terutama kepada Kemendikbud, para cendikia, para pakar pendidikan, para guru untuk meramu ancangan yang sangkil dan mangkus karena sejarah  adalah cahaya kebenaran, saksi waktu, guru kehidupan, historia magistra vitae (Cicero, Marcus Tullius: 1860).

 

Wallahu a'lam bish-shawabi

 

                                                                                                     Special Thanks to Yeni

10 comments:

  1. saya sangat tertarik dengan simpulan Ibu yang menulis kaum milenial sadar mereka besar karena pahlawan dan tidak ada upaya menghapus fakta sejarah. Justru generasi kita yang harus belajar untuk menyesuaikan zaman dengan menghadirkan masa lalu atau peninggalan dalam cara kekinian, saya jadi teringat sebuah kanal youtube Candrian Attahiyat, kita belajar banyak peninggalan tetapi dengan cara kekinian. Betul tulisan ibu kita harus move on. Saya sangat setuju dengan tulisan Ibu, hebat dan keren, terima kasih Ibu Irna🙏🙏🙏😍

    ReplyDelete
  2. Setuju ketidakpedulian anak2 thd pelajaran sejarah banyak disebabkan oleh faktor delivery. Pelajaran sejarah hanya berhenti pada menghapal nama tokoh dan tahun, bukan pada nilai yang mampu merangsang pola berpikir, sehingga anak2 bisa menjadi lebih kritis dan problem solver. Sejarah diajarkan bukan sebagai bahan yg terbuka untuk diperdebatkan dan deliberatif, tapi lbh bersifat indoktrinasi. Ada contoh menarik sebenarnya bagaimana sejarah sepatutnya disampaikan/diajarkan sebagaimana yg ducontohkan Michael Apple, ahli kurikulum dari Wisconsin University. Bagaimana menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sejarah bagi anak2, kini dan masa depan, yaitu dg memngenalkan pembelajaran yg bermakna dan mendalam (deeper learning).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya berharap para pakar membaca dan mendalami ulasan yang menarik di atas. Terima kasih

      Delete
  3. Ulasan yang menarik Bu.
    Kalau pertanyaannya haruskah belajar sejarah?. Saya spontan bilang harus. Generasi milenial memang maunya move-on tapi juga harus sadar kalau apa yang diraih saat ini tidak terlepas dari peristiwa yang lalu. jangan karena hanya berfikir move-on akhirnya silsilah dirinya sendiri tidak tau, apalagi yang besar.
    Saya sepakat bahwa perlu dipikirkan bagaimana kemasan pembelajaran sejarah agar menarik bagi kaum milenial, dan itu adalah kewajiban pengambil kebijakan negeri ini termasuk para cendekia.
    "Peristiwa masa lalu adalah sejarah hari ini dan peristiwa hari ini nantinya menjadi sejarah.........

    ReplyDelete
  4. Terima kasih... semoga ulasan ini bisa menjadi bahan pemikiran kita terutama para pakar...

    ReplyDelete
  5. Saya tidak menyukai pelajaran sejarah dulunya, saya juga sampai sekarang tidak suka museum dll yg berkaitan dengan sejarah. Tapi mungkin emang begitu ya preferensi saya karena saya tetap menghargai sejarah, atau kisah masa lalu. Misal, saya menghargai perjuangan para pahlawan kemerdekaan dulu shg btk penghargaan saya mungkin adalah merawat bangsa dengan saling gotong royong jika ada yg kesulitan tanpa membedakan suku, ras, agama dll. Kira2 begitu ya.... hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nunoy..banyak cara menghargai para pahlawan..👍

      Delete