Ia, antara ada dan tiada. Apalagi di zaman yang sekali “klik” Anda bisa mendapat informasi apapun yang dibutuhkan. Bahkan kerap kali orang bisa mendapat “bonus” informasi yang bisa bermanfaat atau bisa juga tidak. Kemudahan mendapat informasi secara “instan”, secepat kilat dan tidak mengenal waktu membuat orang memandang bisa menjadi guru untuk dirinya sendiri.
Hidup ini jelas tidak hanya melulu persoalan ilmu, pengetahuan, teknologi dan berbagai informasi tetapi juga memerlukan pengetahuan seputar pesoalan hidup dan kehidupan. Ternyata pengetahuan seputar persoalan hidup dan kehidupan ini memiliki tingkat kesulitan yang jauh tinggi dibandingkan “sekadar” Iptek.
Jika Anda memandang bahwa dunia ini hanya persinggahan maka saya yakin kita memerlukan guru, pembimbing, mursyid atau apapun istilahnya untuk menandai seorang yang berpengetahuan, memberi tunjuk-ajar dalam hidup ini. Ia harus sosok yang bukan hanya mampu memindahkan ilmu pengetahuan kepada muridnya, karena itu “persoalan kecil”, tapi Ia juga harus mampu menebarkan semangat kebaikan dan menanamkan tata nilai yang positif. Bagian inilah yang tidak mudah dan tak mungkin dilakukan secara instan karena manusia bukan patung yang bisa diwarnai sesuai selera.
Maka jelas bahwa guru dibutuhkan untuk meningkatkan peradaban manusia di bumi dan langit. Apalagi dalam tingkat satuan pendidikan menengah ke bawah, guru memiliki peran maha penting. Di seputaran usia itulah, sosok yang disebut dengan guru akan memberi warna di sebagian hidup manusia. Guru bukan hanya melengkapi manusia dengan pengetahuan bahwa 1 + 1 = 2, jumlah benua di dunia, hukum Archimides Fa = p.g.V, atau hukum Kekekalan Massa,tetapi guru harus mampu memberi keteladanan dan perubahan baik bagi murid-muridnya serta mampu "menghidupkan hati" para murid. Tentu saja tidak mudah mengukur hasil "didikan" para guru karena membutuhkan pencarian yang panjang untuk menjadi panglima di jagat raya.
Di masa yang serba
cepat, canggih dan gaya hidup hedonisme begitu merajalela menjadi tidak
mungkin "meniadakan" guru. Guru menjadi salah satu kunci pembuka
peradaban dunia dan yang harus mewarisi sikap luhur. Mesin pencari berbasis internet tidak bisa "menghangatkan" jiwa anak manusia, mesin pencari pun tak mampu "mendinginkan" emosi jiwa yang bergejolak. Guru tidak harus super pintar seperti mesin pencari yang tahu segala hal. Tapi harus punya hati karena mesin pencari tidak punya hati.
Tuntutan terhadap guru menjulang setinggi langit. Padahal guru hanya manusia biasa yang rasa hatinya bisa terjungkal-balik karena harus menghadapi “urusannya sendiri”. Itulah hebatnya guru.
Wallahu a'lam bish-shawabi
Thanks to Bro Syam