Introduction

Thursday, January 20, 2022

Guru: antara Ada dan Tiada

 

Ia, antara ada dan tiada. Apalagi di zaman yang sekali “klik” Anda bisa mendapat informasi apapun yang dibutuhkan. Bahkan kerap kali orang bisa mendapat “bonus” informasi yang bisa bermanfaat atau bisa juga tidak. Kemudahan mendapat informasi secara  “instan”, secepat kilat dan tidak mengenal waktu membuat orang memandang bisa menjadi guru untuk dirinya sendiri.

 

Hidup ini jelas tidak hanya melulu persoalan ilmu, pengetahuan, teknologi dan berbagai informasi tetapi juga memerlukan pengetahuan seputar pesoalan hidup dan kehidupan. Ternyata pengetahuan seputar persoalan hidup dan kehidupan ini memiliki tingkat kesulitan yang jauh tinggi dibandingkan “sekadar” Iptek. 

 

Jika Anda memandang bahwa dunia ini  hanya persinggahan maka saya yakin kita memerlukan guru, pembimbing, mursyid atau apapun istilahnya untuk menandai seorang yang berpengetahuan, memberi tunjuk-ajar dalam hidup ini. Ia harus sosok yang bukan hanya mampu memindahkan ilmu pengetahuan kepada muridnya, karena itu “persoalan kecil”, tapi Ia juga harus mampu menebarkan semangat kebaikan dan menanamkan tata nilai yang positif. Bagian inilah yang tidak mudah dan tak mungkin dilakukan secara instan karena manusia bukan patung yang bisa diwarnai sesuai selera.

 

Maka jelas bahwa guru dibutuhkan untuk meningkatkan peradaban manusia di bumi dan langit. Apalagi dalam tingkat satuan pendidikan menengah ke bawah, guru memiliki peran maha penting. Di seputaran usia itulahsosok yang disebut dengan guru akan memberi warna di sebagian hidup manusia. Guru bukan hanya melengkapi manusia dengan pengetahuan bahwa 1 + 1 = 2, jumlah benua di dunia, hukum Archimides Fa = p.g.V, atau hukum Kekekalan Massa,tetapi guru harus mampu memberi keteladanan dan perubahan baik bagi murid-muridnya serta  mampu "menghidupkan hati" para murid. Tentu saja tidak mudah mengukur hasil "didikan" para guru karena membutuhkan pencarian yang panjang untuk menjadi panglima di jagat raya. 

 

Di masa yang serba cepat, canggih dan gaya hidup hedonisme begitu merajalela menjadi tidak mungkin "meniadakan" guru. Guru menjadi salah satu kunci pembuka peradaban dunia  dan yang harus mewarisi sikap luhur. Mesin pencari berbasis internet tidak bisa "menghangatkan" jiwa anak manusia, mesin pencari pun tak mampu "mendinginkan" emosi jiwa yang bergejolak. Guru tidak harus super pintar seperti mesin pencari yang tahu segala hal. Tapi harus punya hati karena mesin pencari tidak punya hati.


Tuntutan terhadap guru menjulang setinggi langit. Padahal guru hanya manusia biasa yang rasa hatinya bisa terjungkal-balik karena harus menghadapi “urusannya sendiri”. Itulah hebatnya guru.

 

Wallahu a'lam bish-shawabi



                                        Thanks to Bro Syam


 

 

 

 

 

 


 

 



Friday, January 7, 2022

Hakikat "Aku"

 

Aku adalah kata ganti orang pertama atau pronomina yang merujuk kepada diri sendiri. Aku bersinonimi dengan "saya", "hamba", "beta", atau bahkan “gue”. Meskipun pronomina tersebut bersinonimi tetapi makna kedalamannya tidak selalu bersenyawa karena penggunaannya sangat kontekstual, tergantung kepada kesepahaman konteks, siapa penutur, siapa petutur dan berbagai hal lain yang berkaitan.

 

Jika ditelisik lebih dalam, Aku tidak “hanya” mewakili diri sendiri, tubuh, badan atau rujukan fisik seperti “milikku”, “mobilku”, “pendapatku”, “Aku rajin”, “Aku makan”. Contoh frasa tersebut menggambarkan bahwa Aku bergerak di wilayah “menyamakan diri” antara Aku dengan kata yang mengikuti atau diikutinya.

 

Lebih jauh lagi, Aku juga mewakili pikiran, gambaran diri dan bersifat rohaniah, tidak kasat mata. Oleh karena itu antara tubuh, badan atau rujukan fisik dengan Aku tidak selalu bersatu, bersama sehati sejiwa karena Aku jiwa, bukan raga.

 

Maka jika “milik aku” “gagasan aku” diambil paksa Aku akan marah, kecewa dan sedih. Tapi Aku tidak akan mampu mengidentifikasikan bagian mana pada tubuh yang terkena amarah atau kesedihan.

 

Kadang Aku merujuk jauh dari daya jangkauan manusia yang masih berada dalam lingkup dunia materi. Aku mampu menuju dunia imateri. Jika Aku berada di dunia imateri maka Aku akan mencakupi kemampuan pemilik semesta alam raya untuk menyatakan keterwakilannya dari sekadar tubuh atau fisik. 

 

Menurut para cendikia, Aku dilekatkan kepada tubuh manusia untuk menjalani hidup di dunia yang fana ini. Aku juga diberi nafsu. Antara Aku dan tubuh akan saling menaklukan. Jika Aku dikalahkan oleh tubuh maka lahirlah "keakuan" atau ego yang kerap memunculkan nafsu durjana dan angkara murka. Tentu saja bukan hal yang mudah meninggalkan "keakuan", terutama bagi pemuja aliran empirisme-materialistik. 

 

Jika Aku bisa mengalahkan tubuh atau lahiriah maka perjalanan mengenali jati diri  dan hakikat kemanusian akan bisa dilanjutkan menuju tujuan utama hakikat Aku. Maka terbanglah ke langit untuk melakukan pengembaraan menuju Sang Maha.



Wallahu a'lam bish-shawabi