Introduction

Monday, November 9, 2020

Lokal Versus Modern


Unknown Sources

Saya menerima  foto di atas dari WA group alumni semasa kuliah. Setelah saya tanyakan mengenai sumber foto tersebut ternyata  sahabat saya tidak mengetahuinya karena ia menerima foto  dari kerabatnya tanpa mencantumkan sumber. Saya mencoba menelusuri sumber foto yang  inspiratif tersebut melalui  google image dan hasilnya mencengangkan karena foto tersebut sudah digunakan oleh banyak orang. Saya gagal mendapatkan sumber gambar*.

Terlepas dari persoalan sumber foto tersebut, bagi saya gambar dalam foto tersebut menyiratkan pesan yang dalam. Tiga orang perempuan Bali yang perkasa tampak mengayuh sepeda dengan “santai” sementara beban di kepala terlihat cukup berat. Kalaupun tidak berat, saya yakin keseimbangan harus terus terjaga. Membawa barang dengan cara meletakkannya di atas kepala “menyunggi” memang sudah biasa dilakukan oleh perempuan Bali, hampir setiap hari. Apalagi pada upacara Mapeed, barisan perempuan berpakaian kebaya tradisional menyunggi sesajen yang pasti berat, sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Esa. 

Menyunggi sambil bersepeda merupakan koordinasi tingkat tinggi antara kepala dengan beban, kaki mengayuh, tangan mengendalikan arah, mata mengawasi keamanan jalan. Sungguh luar biasa…

Hal-hal yang saya sebutkan di atas saja sudah membuat saya begitu mengagumi “kekompakan indra dan raga” para perempuan hebat itu… ditambah lagi salah seorang perempuan pengayuh sepeda tersebut mampu dengan santai “bertelefon” sambil menebar senyum riang yang terpancar dari raut wajahnya. Sekali lagi, luar biasa..

Selain persoalan keseimbangan indra dan raga, ketiga perempuan tersebut menggambarkan harmoni yang sempurna antara budaya lokal dan budaya modern, menyunggi versus menggunakan telefon genggam. Gerusan dan gempuran budaya akibat modernisasi tidak membuat budaya lokal terpinggirkan. Apalagi hanya “kebudayaan benda”, sesuatu yang kerap kali besar manfaatnya.

Ternyata mudah saja disandingkan dan "bersenyawa", sepanjang diniatkan. Tidak perlu ada yang dikalahkan karena sejatinya manusia tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan budaya lokal saja atau hanya bertumpu kepada “budaya modern”. Selalu harus ada keseimbangan. Itulah indahnya hidup.

                                          

                                               *Terima kasih Bro Syam