Introduction

Thursday, September 30, 2021

Sebut Ia Senior...

 

Banyak orang keberatan disebut tua atau sepuh. Menurut para cendikia kata tua atau sepuh secara psikologis berdampak, mempengaruhi dan menurunkan semangat. Mungkin karena kata “tua”, “sepuh” berasosiasi kepada kerentaan dan ketidakberdayaan yang tanpa disadari akan membuat orang merasa “kehilangan” kekuatan dan kedigdayaan. 

 

Apakah dengan demikian kata tua atau sepuh harus diganti dengan kata lain, misalnya “senior”.

 

Dari sudut pandang semantik antara kata tua dan sepuh dengan senior memang berbeda. Lema tua dan sepuh memiliki banyak makna dalam berbagai kelas kata tetapi sebagian besar memiliki relasi makna dengan ketidakberdayaan, usang, kuno, uzur, renta dan makna lainnya yang selaras dengan itu. Sedangkan lema senior bukan hanya berarti tua tetapi juga mencakup bermutu, berpengalaman dan berpengetahuan.

 

Jadi tidak heran jika penggunaan kata senior lebih dipilih dibandingkan dengan tua, sepuh atau bahkan “lanjut usia”. Coba bandingkan rasa yang timbul antara “lansia”, “manula” atau “masyarakat senior”.

 

Apapun juga rasa yang timbul akibat penyebutan tua, sepuh, senior atau lainnya, jika ada, itu diakibatkan bagaimana seseorang “menafsirkan” kata-kata tersebut ke dalam benak.

 

Jika Anda menganggap bahwa tafsir kata-kata tersebut merupakan ”privilage” masing-masing dan tidak terganggu secara psikologis dengan makna tua, sepuh, senior maka ini meringankan langkah…. Artinya jika Anda menyebut diri Anda "sudah tua" tidak bermakna bahwa semua "sudah berakhir" dan tidak berarti pula bahwa usia tua hanya berkhayal tentang keberhasilan masa lampau yang konon membuat orang menjadi bersedih hati. Bukankah muda dan tua itu hanya sebuah proses dalam hidup yang akan dilalui semua manusia...?

 

Tapi bukan berarti kita menjadi bebas menyebut orang dengan tua, sepuh atau manula karena bisa jadi orang sangat terdampak dengan sebutan tersebut.

 

Dalam upaya membahagiakan orang dan diri kita sendiri, mari kita sebut saja dengan senior agar semua bahagia. Menurut para pakar kesenangan, kebahagian, tertawa lepas  akan menghasilkan hormon Endorphin sehingga membuat orang menjadi lebih kuat terhadap penyakit, lebih kelihatan awet muda dan bersemangat.

 

Jika demikian, sebut Ia Senior…

 

I may be a Senior, but so what...?

 

Friday, September 3, 2021

Berapa Hasta Jarakku denganNya

 

Jarak memang nisbi. Perhitungan jarak antara satu tempat ke tempat lain sudah diketahui secara umum, bahkan diajarkan di sekolah. Jika Anda dilahirkan pada tahun-tahun sebelum tahun 1970 pasti ingat mata pelajaran yang membahas jarak, misalnya jarak Jakarta – Bogor 60 km, Jakarta – Bandung 120 Km dan seterusnya. 

 

Ternyata jarak tetap saja berbeda dalam tafsir tiap orang, meskipun perhitungan jarak sudah sangat jelas dan ditetapkan berdasarkan angka yang terukur, tidak kwalitatif... Rupanya jarak tidak mampu membuat manusia merasa jauh dari apa pun yang “berjarak” dan juga tidak mampu membuat manusia merasa dekat meskipun sudah di depan mata. 

 

Bayangkan saja bagaimana manusia bisa merasakan dekatnya “Ia”. Padahal, jika mungkin, berapa hasta yang harus ditempuh untuk sampai kepadaNya. Tak akan bisa manusia menghitung berapa  jarak antara bumi dan singgasanaNya dengan rumus apapun juga.

 

Untuk merasa dekat, manusia bukan hanya membutuhkan olah nalar “knowledge”, tetapi juga olah hati (batin) dengan memanfaatkan “divine knowledge”. Rasa dekat tersebut memang tidak bisa serta merta dirasakan oleh makhluk bumi jika tidak memadukan dua “knowledge” tersebut, nalar dan hati. Nalar atau akal dan hati sejatinya memiliki sifat halus dan lembut. Nalar terbatas hanya pada perkara pengetahuan dan “kepandaian”. Sedangkan hati atau batin juga menerima kebenaran namun dalam urusan spritual dan mampu menjangkau alam metafisik dengan dukungan nalar.

 

Pengetahuan (baca: nalar) dan rekayasa pendidikan atau kultur tidak mampu menuntun manusia untuk  memuliakan dan menjaga kesucian hatinya. Justru “pemaksaan” nalar   membuat jarak yang sesungguhnya dekat menjadi jauh. Sedangkan hasil olah batin mampu menghaluskan rasa sehingga mendekatkan jarak yang "berhasta-hasta".

 

Jarak didefinisikan beragam. Secara geografis  jarak adalah ruang yang menghubungkan antara dua lokasi atau dua objek. Dalam definisi lain yang lebih filosofis jarak dianggap sebagai konsep terkait posisi manusia yang berada di ruang dan waktu. Artinya di setiap penggal waktu merupakan proses hidup manusia yang harus dilalui hingga sampai jarak tertentu sebagai tujuan.

 

Oleh karenanya berapa hasta pun jarak antara satu tujuan ke tujuan lain tidak akan berarti apa-apa karena “tujuan” yang hendak dicapai berarti segalanya.

 

Jika demikian jelas bahwa kenisbian jarak ditentukan oleh tujuan. Kombinasi antara akal dan batin membawa manusia kepada tafsir jarak sesuai kebutuhannya.

 

Wallahu a'lam bish-shawabi