Introduction

Saturday, September 24, 2022

KESENDIRIAN DAN CANDU

 

Benarkah kenikmatan berada dalam “kesendirian” itu candu. Sejatinya, manusia itu adalah makhluk sosial yang tidak mungkin dicerabut dari dunia “keramaian”, lingkungan sosialnya. 

 

Tidak dapat dibayangkan bagaimana manusia bisa menjalankan “tupoksi” kemanusiannya di jagat raya ini jika hanya berada dalam kesendirian. Bukankah hanya  manusia yang diciptakan dengan mengemban misi yang telah ditetapkan oleh Sang Khalik…?  Meskipun bukan hanya manusia yang “hidup” di dunia ini, ada makhluk lain yang kasat dan tak kasat mata, tetapi masing-masing makhluk bumi tersebut memiliki tugas yang berbeda.

 

“Kesendirian” kadang kala memang dibutuhkan untuk meredakan kelelahan pikiran dan batin. Apalagi jika seseorang sudah menghabiskan waktu yang yang panjang di keramaian dan merasa tidak mendapatkan apa-apa di sana. Anggap saja kesendirian ini sebagai “coping mechanism”. Jika demikian, mungkin saja kesendirian akan bisa membantu melapangkan pikiran, melapangkan jiwa dan raga. Tapi untuk berapa lama orang dapat “bersendiri”. Jangan lupa, manusia juga tidak akan mendapatkan pikiran yang lapang, kebesaran jiwa dan raga hanya berbekal “kesendirian”.  Sesungguhnya untuk mendukung keberhasilan “kesendirian” itu tetap membutuhkan tangan orang lain.  Sebut saja “pemasok” kebutuhan primer manusia, makan, minum dan tentu banyak lagi yang tak terelakan. Seberapa pun merdekanya seseorang atau seberapa besar kemandirian seseorang tetap tidak mungkin tanpa tangan orang lain.

 

Harus diakui ada sebagian orang yang “kecanduan” berada dalam kesendirian. Sendiri membuatnya lebih tenang, damai dan lebih produktif. Tapi bukan berarti Ia menolak sama sekali interaksi sosial. Bagi kelompok orang yang mencintai kesendirian “quirkyalonekemandirian menjadi kata kunci karena Ia sedikit mungkin bergantung kepada orang lain.

 

Atau, ada pula orang yang memang memilih jalan dalam “kesendirian”, bukan karena candu. Tetapi baginya, Ia tidak sendiri karena banyak yang “menemani”. Walaupun tidak meninggalkan dunia sepenuhnya tapi Ia tidak lagi menikmati dunia “bawah”. Dunia hanya sebatas dalam genggaman tangan, tidak masuk ke dalam kalbu karena dunia hanya sebagai wasilah untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pemilik. Oleh karena itu cara menjalankan tugas kekhalifahannya pun berbeda dengan pada umumnya para panglima jagat raya dan kerap tak dipahami oleh orang awam.

Jadi, kesendirian itu candu kah…? Sungguh saya tidak paham… oleh karena itu saya kutipkan saja bagian kecil karya Sang penyair sufi, Jalaluddin Rumi.

 

 

Ada kesendirian yang lebih berharga dari kehidupan.

Ada kebebasan yang lebih berharga dari dunia.

Lebih berharga dari hidup dan dunia adalah saat ketika seseorang sendirian dengan Tuhan

(Maulana Jalaluddin Rumi)

Tuesday, June 14, 2022

"Hibernasi"

 

Jika manusia bisa berhibernasi seperti layaknya binatang, mungkin banyak manusia yang melakukannya, tidur dalam jangka waktu panjang untuk tujuan tertentu.  Maklumlah, hidup ini kerap dipandang sulit dan berat oleh manusia. Jadi, andai saja manusia bisa  “hilang” sejenak dari kehirukpikukan dan berharap kembali lagi ke dunia hiruk pikuk dalam kondisi yang lebih segar, mungkin, hibernasi akan menjadi pilihan orang.

 

Sayangnya, hanya binatang yang bisa melakukan hibernasi. Hibernasi dilakukan oleh binatang pada saat musim dingin agar mereka bisa melewati masa tersebut. Hibernasi yang dilakukan binatang itu juga berguna untuk menghemat energi, menurunkan laju metabolisme dan juga menurunkan kerja organ tubuh.

 

Meskipun manusia tidak bisa berhibernasi atas kemauan sendiri seperti layaknya binatang, tapi istilah hibernasi sudah banyak digunakan orang untuk menyatakan “undur diri” dari, misalnya, aktivitas sosialnya baik langsung maupun lewat dunia maya. Walaupun penggunaan kata hibernasi “salah kaprah” tapi orang “menelan” saja. Bisa jadi orang sesungguhnya mahfum atau tidak paham. Entahlah…

 

Lepas dari persoalan kesesuaian makna hibernasi dengan penggunaan kekiniannya, tampaknya manusia masa kini semakin mencari-cari cara “berdamai” dengan diri sendiri, bukan hanya karena luka batin tetapi juga karena kelelahan fisik dan pikiran atau dalam proses “pencarian”.

 

Saya teringat dengan seorang sahabat yang sedang melakukan “hibernasi”, begitu tutur sahabat saya tersebut. Ia menarik diri dari “peredaran” pergaulan sosialnya dengan mengurangi berkomunikasi dua arah atau “beragam arah” seperti layaknya komunikasi dalam grup jejaring sosial. Komunikasi semacam itu dipandang akan berpotensi menggagalkan proses “hibernasinya”.

 

Jelas tidak mudah meninggalkan “panggung” indah kehirukpikukan pergaulan karena kita harus menanggalkan keakuan yang pada akhirnya bisa melesapkan orang dari keberadaannya di tengah keramaian. Ia juga harus berani dan mau menurunkan derajat  "keterkenalan" dunia yang kerap kali memberatkan manusia mengorbit ke langit. 

 

Jika “Hibernasi” dipandang sebagai proses “penyucian” diri, membersihkan hati dari berbagai “penyakit hati” dan sifat tercela agar bisa berjumpa dengan Sang Pemilik, maka pulangkanlah segala sifat banyak bicara, melihat, dan berkehendak. Maklumlah manusia itu mudah sekali tergoda

 

Dalam diam kerap manusia bisa menanam kebajikan lebih banyak di bumi dan itu akan berbuah manis di langit. 

 

Biarkan sahabat saya melakukan “hibernasi” agar diamnya menjadi tangga untuk mencapai langit.

 

 

 

                                                                Thanks to Mas Bams                                                                                                              

                                                                                                     

 

Friday, May 20, 2022

Perempuan: Penyangga Masa Depan Bangsa

Illustrated by Water Planet (water-planet.co)



 

Kata "perempuan" berasal dari kata "empu" dalam bahasa Jawa Kuno yang diserap ke dalam Bahasa Melayu yang berarti "tuan, mulia, hormat". Sumber lain menyebutkan bahwa kata empu dalam perempuan berhubungan dengan kata ampu yang berarti "sokong” atau “penyangga". Dari kedua makna tersebut, kata perempuan mengacu kepada sebuah kedudukan yang sangat terhormat di muka bumi ini.  Meskipun tidak mengandung makna kesetaraan atau yang selaras dengan itu, makna kata perempuaan tetap sangat “bergengsi”.

Peran perempuan sebagai pendidik sebenarnya didasari atas sifat-sifat dalam diri sebagian besar perempuan, seperti memiliki sifat lemah lembut dan rasa sabar dalam mendidik anak serta sabar menghadapi “kelakuan” atau tingkah laku anak-anak.  Beberapa sumber mengatakan bahwa keberhasilan seorang perempuan terpatri bukan ketika ia mampu bersejajar dengan laki-laki atau memiliki kedudukan tinggi di luar rumah.

 

                     Please Click  

             

              👇👇👇

 

https://www.kompasiana.com/irnanir/6285b19ce8da20365655a682/perempuan-penyangga-masa-depan-bangsa 

Sunday, May 1, 2022

Happy Eid Mubarak 1443 Hijriah

 

Dear My  Best Friends,

Faith makes all things possible. Hope makes all things work. Love makes all things beautiful. May you have all of the three.
I might not be there with you today, but you are always there in my prayers.
 May Allah bring peace and happiness to you. From depth of my heart, with this special pray, that your Eid be filled with pleasures, smiles, colors, love, sympathies, good feelings, joys, and peace… 
May peace and blessings of Almighty Allah be with you & your family. 
A very happy Eid Mubarak to you .
 1 Syawal 1443 Hijriah 

 

Illustrated by Water Planet
www.water-planet.co


Sunday, April 17, 2022

It Takes Two to Tango: Bijak

 

Satu dekade yang lalu mungkin tidak ada anak-anak bercita-cita menjadi “youtuber” atau “selegram”. Bahkan profesi tersebut tidak pernah terlintas dalam benak orang. Saat itu sebagian besar anak bermimpi menjadi dokter atau insinyur. Jika anak tersebut cukup heroik maka mereka bercita-cita menjadi polisi atau tentara. Dunia bergulir, ternyata untuk memiliki banyak uang tidak perlu terlalu “pusing” belajar tiap malam karena ada cara untuk lebih cepat menggelembungkan pundi-pundi.
Diawali oleh para pesohor yang sudah memiliki “basis masa”  mengunggah konten “hiburan” yang beragam dan ternyata digemari oleh masyarakat. Konten tayangan mulai dari yang “lumayan mendidik”, “memberi pengetahuan”, sekadar hiburan sampai dengan yang saya kelompokan “tidak penting”, seperti menjual mimpi dan kemewahan “flexing” atau “family content” yang ternyata sama sekali tidak “ramah anak”. Tapi sayangnya, masyarakat menggemarinya bahkan gandrung. Mungkin saja karena orang butuh hiburan di masa pandemi yang penuh pembatasan. Maka hiburan melalui dunia maya menjadi pilihan. Hal ini juga terbukti dengan jumlah viewer dan subscriber melimpah dan itu sama dengan menggelembungnya pundi-pundi para youtuber, bahkan sampai disebut sultan.
Lepas dari persolan itu, para youtuber ini tentu tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Bukankah yang berlaku teori “supply and demand?”, selama kebutuhan pasar ada bahkan berlimpah, atas nama kebutuhan dan tuntutan konsumen, produsen tentu terus berproduksi…Kedua pihak saling membutuhkan meskipun bentuk “kebutuhan”nya berbeda. Satu pihak, mungkin, membutuhkan popularitas karena akan berakhir dengan penuhnya pundi-pundi. Di lain pihak memuaskan dahaganya atas hiburan dan mimpi indah karena jika tidak bermimpi mustahil bisa menikmatinya.
Sayangnya, mimpi indah dan hiburan ini benar-benar hanya “mimpi dan hiburan”. Kalau boleh jujur, konsumen tidak dapat apa-apa yang relatif positif, selain mimpi dan hiburan ala kadarnya, bahkan pada akhirnya tidak bisa lepas dari jeratan mimpi tak berkesudahan.  Untuk para penjual mimpi, lumayanlah… “cuan”, begitu istilah kekiniannya. Sebenarnya, sama-sama butuh tapi tak berimbang… Sedih memang…
Penjual mimpi tidak bisa menjadi “sultan” tanpa para pencinta mimpi, tentu mereka tidak terlalu memikirkan apakah tayangan yang diunggahnya memiliki kemaslahatan atau tidak. Apa boleh buat, kita tidak lagi mampu berlari atau menghindar dari kepungan informasi yang datang bertubi-tubi tanpa diminta.
Maka hanya ada satu kata, yaitu “bijak” memilih dan memilah informasi, yang bukan hanya diinginkan saja tetapi lebih kepada informasi yang bermanfaat dan membawa pencerahan. Kata bijak sekan-akan menjadi kata suci yang mudah didefinisikan tapi sulit diterapkan.
Jika diperkenankan titip pesan kepada para pengunggah konten di media sosial, apalagi yang sudah berlabel “influencer”. Mereka tentu memiliki kemampuan “mempengaruhi” penontonnya, penggemarnya dan khalayak luas agar mampu berlaku bijak pula dalam mengunggah konten tayangan. Jangan lupa para “influencer” ini sudah mendapat keuntungan besar dari khalayak, maka pantaslah jika mau sedkit berbagi… bukan uang, tapi kemaslahatan. Tanpa penonton tentu tidak akan bisa terus berjaya dan tayangannya menjadi tidak bermakna apa-apa. It takes two to tango, tidak nikmat menari tango sendiri… pasti perlu teman agar cuan terus.
Semoga semua mampu bersikap bijak.... mari menari...💃💃💃
 
 

 

 

Thursday, March 10, 2022

Sembari

 

Kata “sembari” tampaknya tidak sering digunakan orang. Mungkin orang lebih akrab dengan “sambil”, “selagi” atau “seraya”. Saya pun sebenarnya hampir-hampir melupakannya. Padahal masih ada lagi satu kata yang kurang lebih senapas dengan empat kata yang saya sebutkan sebelumnya, yaitu “senyampang”.

Kisah “sembari” ini berawal dari seorang sejawat, seorang pakar Bahasa Indonesia. Ia memperkenalkan sahabat barunya yang bernama Sembari. Menurut  sejawat saya ini,  Sembari menjadi begitu dekat dengannya semenjak masa pandemi ini karena banyak pekerjaan yang semula dilakukan di berbagai tempat, kini menjadi di satu tempat saja, yaitu di rumah. Maka muncullah sang Sembari. “Sembari” senantiasa menemani di sela-sela kegiatan profesionalnya. “Mengikuti rapat sembari menyiapkan makan siang”, “Mendengarkan diskusi sembari menerima pesanan kopi” dan banyak lagi yang menggambarkan sejawat saya melakukan suatu pekerjaan dan disela dengan pekerjaan lainnya.

Semenjak sejawat saya memperkenalkan sahabat barunya “Sembari” itu, saya menjadi rajin berselancar mencari keberadaan sembari dalam ragam tulisan yang mungkin saja tersebar di dunia maya. Rupanya tidak banyak, kecuali dalam beberapa karya sastra atau digunakan dalam ragam percakapan. 

 

Entah mengapa saya merasa sembari memiliki makna kedalaman yang sedikit berbeda dari kelompok segatra dengannya. Bayangkan saja,  “sembari” digunakan dalam karya sastra yang indah tetapi juga dalam ragam percakapan. Tampaknya "sembari" menyiratkan “emosi”, keadaan batin atau sikap sang pencerita terhadap pokok permasalahan atau obyeknya yang menggambarkan keharusan untuk melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. 

 

Di masa serba cepat seperti ini, mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu secara bersamaan memang tidak bisa dihindari. Anda tak mungkin fokus hanya pada satu hal karena “satu hal” tersebut sesungguh juga “dikerubuti” oleh hal lain yang mendukung keberhasilan fokus pekerjaan Anda. Oleh karena itu "sambil", seraya", "selagi", "senyampang" atau "sembari"  akan kerap kali muncul.


Setelah lelah berselancar, akhirnya saya temukan juga si Sembari di sebuah berita online dengan tajuk “Anehnya, Sembari Invasi, Putin Klaim Juga Kirim 10.500 Ton Bantuan Kemanusiaan ke Warga Ukraina!” https://video.tribunnews.com/view/338465/sembari-invasi-rusia-kirim-10500-ton-bantuan-logistik-ke-ukraina-ini-penjelasan-kepala-pertahanan
 

Rupanya Vladímir Vladímirovich Pútin, Presiden Rusia, yang sekarang menjadi sangat terkenal itu pun mengklaim “sembari” invasi, Ia mengirim bantuan kemanusiaan untuk warga sipil Ukraina. 

 

Akhirnya, sembari mengetik saya berpikir-pikir  ternyata orang segarang Putin tetap memiliki rasa kemanusiaan. Kemudian, sembari meneguk kopi, saya membayangkan bisa berbincang-bincang dengan Putin agar menghentikan peperangan...


                 Terima kasih 

untuk

Ibu Santi Mardikarno

 

 

Thursday, January 20, 2022

Guru: antara Ada dan Tiada

 

Ia, antara ada dan tiada. Apalagi di zaman yang sekali “klik” Anda bisa mendapat informasi apapun yang dibutuhkan. Bahkan kerap kali orang bisa mendapat “bonus” informasi yang bisa bermanfaat atau bisa juga tidak. Kemudahan mendapat informasi secara  “instan”, secepat kilat dan tidak mengenal waktu membuat orang memandang bisa menjadi guru untuk dirinya sendiri.

 

Hidup ini jelas tidak hanya melulu persoalan ilmu, pengetahuan, teknologi dan berbagai informasi tetapi juga memerlukan pengetahuan seputar pesoalan hidup dan kehidupan. Ternyata pengetahuan seputar persoalan hidup dan kehidupan ini memiliki tingkat kesulitan yang jauh tinggi dibandingkan “sekadar” Iptek. 

 

Jika Anda memandang bahwa dunia ini  hanya persinggahan maka saya yakin kita memerlukan guru, pembimbing, mursyid atau apapun istilahnya untuk menandai seorang yang berpengetahuan, memberi tunjuk-ajar dalam hidup ini. Ia harus sosok yang bukan hanya mampu memindahkan ilmu pengetahuan kepada muridnya, karena itu “persoalan kecil”, tapi Ia juga harus mampu menebarkan semangat kebaikan dan menanamkan tata nilai yang positif. Bagian inilah yang tidak mudah dan tak mungkin dilakukan secara instan karena manusia bukan patung yang bisa diwarnai sesuai selera.

 

Maka jelas bahwa guru dibutuhkan untuk meningkatkan peradaban manusia di bumi dan langit. Apalagi dalam tingkat satuan pendidikan menengah ke bawah, guru memiliki peran maha penting. Di seputaran usia itulahsosok yang disebut dengan guru akan memberi warna di sebagian hidup manusia. Guru bukan hanya melengkapi manusia dengan pengetahuan bahwa 1 + 1 = 2, jumlah benua di dunia, hukum Archimides Fa = p.g.V, atau hukum Kekekalan Massa,tetapi guru harus mampu memberi keteladanan dan perubahan baik bagi murid-muridnya serta  mampu "menghidupkan hati" para murid. Tentu saja tidak mudah mengukur hasil "didikan" para guru karena membutuhkan pencarian yang panjang untuk menjadi panglima di jagat raya. 

 

Di masa yang serba cepat, canggih dan gaya hidup hedonisme begitu merajalela menjadi tidak mungkin "meniadakan" guru. Guru menjadi salah satu kunci pembuka peradaban dunia  dan yang harus mewarisi sikap luhur. Mesin pencari berbasis internet tidak bisa "menghangatkan" jiwa anak manusia, mesin pencari pun tak mampu "mendinginkan" emosi jiwa yang bergejolak. Guru tidak harus super pintar seperti mesin pencari yang tahu segala hal. Tapi harus punya hati karena mesin pencari tidak punya hati.


Tuntutan terhadap guru menjulang setinggi langit. Padahal guru hanya manusia biasa yang rasa hatinya bisa terjungkal-balik karena harus menghadapi “urusannya sendiri”. Itulah hebatnya guru.

 

Wallahu a'lam bish-shawabi



                                        Thanks to Bro Syam


 

 

 

 

 

 


 

 



Friday, January 7, 2022

Hakikat "Aku"

 

Aku adalah kata ganti orang pertama atau pronomina yang merujuk kepada diri sendiri. Aku bersinonimi dengan "saya", "hamba", "beta", atau bahkan “gue”. Meskipun pronomina tersebut bersinonimi tetapi makna kedalamannya tidak selalu bersenyawa karena penggunaannya sangat kontekstual, tergantung kepada kesepahaman konteks, siapa penutur, siapa petutur dan berbagai hal lain yang berkaitan.

 

Jika ditelisik lebih dalam, Aku tidak “hanya” mewakili diri sendiri, tubuh, badan atau rujukan fisik seperti “milikku”, “mobilku”, “pendapatku”, “Aku rajin”, “Aku makan”. Contoh frasa tersebut menggambarkan bahwa Aku bergerak di wilayah “menyamakan diri” antara Aku dengan kata yang mengikuti atau diikutinya.

 

Lebih jauh lagi, Aku juga mewakili pikiran, gambaran diri dan bersifat rohaniah, tidak kasat mata. Oleh karena itu antara tubuh, badan atau rujukan fisik dengan Aku tidak selalu bersatu, bersama sehati sejiwa karena Aku jiwa, bukan raga.

 

Maka jika “milik aku” “gagasan aku” diambil paksa Aku akan marah, kecewa dan sedih. Tapi Aku tidak akan mampu mengidentifikasikan bagian mana pada tubuh yang terkena amarah atau kesedihan.

 

Kadang Aku merujuk jauh dari daya jangkauan manusia yang masih berada dalam lingkup dunia materi. Aku mampu menuju dunia imateri. Jika Aku berada di dunia imateri maka Aku akan mencakupi kemampuan pemilik semesta alam raya untuk menyatakan keterwakilannya dari sekadar tubuh atau fisik. 

 

Menurut para cendikia, Aku dilekatkan kepada tubuh manusia untuk menjalani hidup di dunia yang fana ini. Aku juga diberi nafsu. Antara Aku dan tubuh akan saling menaklukan. Jika Aku dikalahkan oleh tubuh maka lahirlah "keakuan" atau ego yang kerap memunculkan nafsu durjana dan angkara murka. Tentu saja bukan hal yang mudah meninggalkan "keakuan", terutama bagi pemuja aliran empirisme-materialistik. 

 

Jika Aku bisa mengalahkan tubuh atau lahiriah maka perjalanan mengenali jati diri  dan hakikat kemanusian akan bisa dilanjutkan menuju tujuan utama hakikat Aku. Maka terbanglah ke langit untuk melakukan pengembaraan menuju Sang Maha.



Wallahu a'lam bish-shawabi

 

Friday, November 5, 2021

Tuhan: dalam Renunganku

 

Dalam pandangan saya yang miskin spritualitas, makhluk bumi tidak memiliki kesepahaman mengenai konsep ketuhanan, beragam. Jika saya tidak salah, konsep Tuhan dalam agama-agama samawi yang monoteistis saja “agak” berbeda. Apalagi agama di luar itu. Walaupun tujuan akhirnya, mungkin, kurang lebih sama tetapi cara mencapainya berbeda, maka jadilah sesuatu yang berbeda. 

 

Saya percaya bahwa wujud sejati Tuhan itu satu. Yaitu Tuhan pemilik bumi dan langit. Tetapi kehadiranNya ada di berbagai penjuru karena Ia tak berbatas. Oleh karena itu kita dapat menyebutnya Tuhan bersifat abstrak dan universal. 

 

Karena Tuhan itu tak kasat maka menjadi persoalan bagi sebagian orang untuk mengakui keberadaanNya. Apalagi jika hanya bertumpu kepada nalar, logika dan ilmu pengetahuan maka dipastikan akan kesulitan menerima keberadaan Tuhan.

 

MenemukanNya memang tidak bisa dihasilkan hanya dari dapur akal. Sentuhan batin dan nurani memiliki peran besar untuk menemukan keberadaanNya.


“Pencarian” Tuhan sebenarnya sudah dibahas sejak lama, misalnya, Plato (427-347 SM) yang mengatakan alam semesta dikuasai oleh dua Tuhan yang berbeda yaitu, Tuhan yang niscaya atau kebaikan dan Tuhan sebagai pencipta (kontijensi atau demiurge). Gagasan Plato diikuti pula oleh muridnya, Aristoteles dan para filosof lainnya yang juga membahas tentang Tuhan. Tapi saat ini saya tidak ingin membahas kisah “para pencari tuhan” kelas dunia dengan beragam teori yang pada akhirnya sebagian menyakini bahwa Tuhan itu ada, sedangkan yang lainnya menafikan.

 

Tuhan itu ada bukan hanya karena keberadaan benda di alam raya ini memerlukan pencipta dan yang mengaturnya saja tetapi  kebesaran samudera  cinta, cinta kepada siapapun atau apapun juga, membuktikan bahwa Tuhan "mengatur" rasa dan batin manusia. Sejauh yang saya ketahui, belum ada rekayasa teknologi yang mampu melengkapi  temuannya dengan rasa  seperti cinta, sedih, marah atau benci. Perasaan semacam itu jelas dapat dirasakan walaupun tidak berwujud. 

 

Tuhan bersifat personal, Tuhan bisa “jauh”  karena tidak tergapai oleh indra (transenden). Tapi Tuhan bisa pula terasa “sangat dekat”, di dalam hati manusia (imanen) seperti cinta. 

 

Karena akal manusia terbatas maka tak perlu memaksa menalarkan diri, cukup melihat dan teruslah menelusuri kedalaman hati.

 

Bagi saya, Ia,  ada di sana, di dalam relung hati sanubari.   

Wallahu a'lam bish-shawabi

Thursday, September 30, 2021

Sebut Ia Senior...

 

Banyak orang keberatan disebut tua atau sepuh. Menurut para cendikia kata tua atau sepuh secara psikologis berdampak, mempengaruhi dan menurunkan semangat. Mungkin karena kata “tua”, “sepuh” berasosiasi kepada kerentaan dan ketidakberdayaan yang tanpa disadari akan membuat orang merasa “kehilangan” kekuatan dan kedigdayaan. 

 

Apakah dengan demikian kata tua atau sepuh harus diganti dengan kata lain, misalnya “senior”.

 

Dari sudut pandang semantik antara kata tua dan sepuh dengan senior memang berbeda. Lema tua dan sepuh memiliki banyak makna dalam berbagai kelas kata tetapi sebagian besar memiliki relasi makna dengan ketidakberdayaan, usang, kuno, uzur, renta dan makna lainnya yang selaras dengan itu. Sedangkan lema senior bukan hanya berarti tua tetapi juga mencakup bermutu, berpengalaman dan berpengetahuan.

 

Jadi tidak heran jika penggunaan kata senior lebih dipilih dibandingkan dengan tua, sepuh atau bahkan “lanjut usia”. Coba bandingkan rasa yang timbul antara “lansia”, “manula” atau “masyarakat senior”.

 

Apapun juga rasa yang timbul akibat penyebutan tua, sepuh, senior atau lainnya, jika ada, itu diakibatkan bagaimana seseorang “menafsirkan” kata-kata tersebut ke dalam benak.

 

Jika Anda menganggap bahwa tafsir kata-kata tersebut merupakan ”privilage” masing-masing dan tidak terganggu secara psikologis dengan makna tua, sepuh, senior maka ini meringankan langkah…. Artinya jika Anda menyebut diri Anda "sudah tua" tidak bermakna bahwa semua "sudah berakhir" dan tidak berarti pula bahwa usia tua hanya berkhayal tentang keberhasilan masa lampau yang konon membuat orang menjadi bersedih hati. Bukankah muda dan tua itu hanya sebuah proses dalam hidup yang akan dilalui semua manusia...?

 

Tapi bukan berarti kita menjadi bebas menyebut orang dengan tua, sepuh atau manula karena bisa jadi orang sangat terdampak dengan sebutan tersebut.

 

Dalam upaya membahagiakan orang dan diri kita sendiri, mari kita sebut saja dengan senior agar semua bahagia. Menurut para pakar kesenangan, kebahagian, tertawa lepas  akan menghasilkan hormon Endorphin sehingga membuat orang menjadi lebih kuat terhadap penyakit, lebih kelihatan awet muda dan bersemangat.

 

Jika demikian, sebut Ia Senior…

 

I may be a Senior, but so what...?